Blog Posts » Tokoh » TINGKATAN RUJUKAN IMAM SYAFI'I RAHIMAHULLOH
TINGKATAN RUJUKAN IMAM SYAFI'I RAHIMAHULLOH
Siapa yang tak kenal Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i rahimahullah? Beliau adlh seorang ‘aalim, mujtahid muthlaq, pakar ushul fiqih , hadits, tafsir dan bahasa. Beliau juga merupakan pendiri salah satu madzhab fiqih terbesar saat ini, yaitu madzhab Syafi’i. ‘Ulama pun sepakat mendudukkan beliau sebagai mujaddid abad ke-2 hijriyah.
Kali ini saya akan menyampaikan sebagian metode beliau dlm melakukan ijtihad. Referensi saya adlh kitab Tafsir al-Imam asy-Syafi’i karya Dr. Ahmad ibn Mushthofa al-Farran. Salah satu rujukan yang di gunakan oleh Dr. Ahmad ibn Mushthofa al-Farran adalah kitab asy-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruhu karya Syaikh Muhammad Abu Zahrah, selain rujukan-rujukan yang lain tentunya. Silakan di simak.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah membagi ‘ilm menjadi dua, yaitu‘ilmu ‘aammah dan ‘ilmu khaashshah.
(A). ‘Ilmu ‘aammah merupakan ilmu yang wajib di ketahui oleh setiap muslim yang mukallaf, seperti kewajiban shalat lima waktu dan puasa Ramadhan serta keharaman zina dan meminum khamr.
(B).Sedangkan ‘Ilmu khaashshah ini merupakan kajian para fuqaha’ dan mujtahid, hukumnya fardhu kifayah untuk di pelajari.
Dalam proses ijtihad, Imam asy-Syafi’i menggunakan beberapa tingkatan rujukan yang di gunakan secara berurutan. Maksudnya, beliau akan menggunakan tingkatan pertama terlebih dulu, jika tidak ada baru beliau menggunakan tingkatan kedua, demikian seterusnya.
Berikut tingkatan rujukan yang di gunakan oleh Imam asy-Syafi’i:
(1). Merujuk kepada al-Kitab & as-Sunnah ash-Shahihah. Imam asy-Syafi’i meletakkan al-Kitab dan as-Sunnah ash-Shahihah dalam satu tingkatan, karena as-Sunnah berfungsi untuk menjelaskan isi al-Kitab&mmperincinya. Dan mencukupkan diri dengan al-Qur’an jika tidak ada tambahan penjelasan dari as-Sunnah ash-Shahihah.
(2). Merujuk kepada Ijma’ Ulama jika tidak terdapat dalam al-Kitab dan as-Sunnah ash-Shahihah. Ijma’ Ulama yang dimaksud adalah ijma’ ‘ulama yang memiliki ‘ilmu khaashshah (faqih dan mujtahid). Dan ijma’ ini haruslah tidak berdasarkan ra’y (pendapat ‘aqli, tanpa nash yang jelas), krn jika berdasarkan ra’y tentulah ‘ulama akan berselisih dan tidak akan bersepakat (ber-ijma’).
(3). Perkataan sebagian shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan ra’y, tanpa diketahui ada satu orang shahabat pun yang menyelisihinya. Menurut Imam asy-Syafi’i, ra’y shahabat lebih baik dari ra’y selain mereka, termasuk ra’y beliau sendiri. Dengan syarat, periwayatan ra’y shahabat tersebut aman dari berbagai kekeliruan.
(4). Perselisihan pendapat shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perkara. Yang di pilih adalah yang paling mendekati al-Kitab dan as-Sunnah ash-Shahihah/ yg di kuatkan oleh qiyas.
(5). Melakukan qiyas pada satu perkara yang telah diketahui hukumnya berdasarkan empat tingkatan sbelumnya. Yaitu qiyas terhadap perkara yang sudah ada nash-nya dalam al-Kitab dan atau as-Sunnah ash-Shahihah, atau di ketahui hukumnya brdasarkan ijma’, atau qiyas terhadap perkara yang diketahui hukumnya brdasarkan perkataan sebagian shahabat tanpa ada yang menyelisihinya dan yang terdapat perselisihan di antara mereka.
Demikian, semoga bermanfaat.
sumber: www.facebook.com/Forumaswajaindonesia