Blog Posts » Fiqh » BUKTI YURIDIS KEHARAMAN NIKAH MUT'AH

BUKTI YURIDIS KEHARAMAN NIKAH MUT'AH

Setelah membongkar kedok Salafy-Wahabi, sesekali membongkar Syiah yang nyata-nyata menghalalkan mut'ah. Toh perdebatan kali ini kita cuma mengulang perdebatan ulama-ulama berabad-abad dahulu, ini hanya sebagai kajian kita saja atau memberi tahu yang belum sempat mempelajari atau mengenalnya.
img
Mut'ah adalah istilah yang menggambarkan suatu ikatan persewaan laki-laki pada perempuan dengan menarik materi atau nominal tertentu sampai batas tempo yg disepakati (atau bisa di istilahkan kawin kontrak).

Mari kita kaji dan teliti bukti-bukti diharamkan nikah mut'ah dimata Ahlussunah wal jama'ah lewat hujjah yang sharih. Diantaranya adalah:

Ⅰ.Al-quran
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas" (QS.Al-mu'minin:5-7).
>seruan ayat ini mengandung etika dalam masalah istimta' (bersenang-senang) yang sah melalui istri-istri dan budak perempuan. Maka posisi Mut'ah tidak masuk sebagai etika istimta' secara syar'i (undang-undang). Ini terbukti dalam ikatan mut'ah tak ada istilah thalak, nafkah, dan warisan.

Ⅱ.Al-hadits
•"Wahai para manusia, sesungguhnya pada mulanya aku memberi izin kalian istimta' (bersenang-senang) dengan wanita, dan sungguh Allah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat...." (HR.Muslim dan Ahmad).
•Salmah bin al-akwa' berkata: "Rasulullah saw memberi keringanan pada kami dalam nikah mut'ah perempuan pada tahun Authas selama tiga hari, kemudian melarangnya" (HR.Muslim dan Ahmad).
•Sabrah bin mu'id berkata: "Sesungguhnya Rasulullah saw diwaktu haji wada' telah melarang nikah mut'ah" (HR.Ahmad dan Abu daud).
•Dari Ali ra, "sungguh Rasulallah saw melarang nikah mut'ah dan daging-daging himar yang dipelihara (al-ahliyah) di zaman khaibar" (HR.Ahmad dan Syaikhani).
>dapat ditarik kesimpulan dari Hadits diatas tentang pelarangan mut'ah. Ini sebenarnya masih banyak hadits yang sharih tentang pengharaman Mut'ah.

Ⅲ.Al-ijma'
•fatwa ibn mundzir:
"Datangnya rukhsoh (dispensasi) dalam mut'ah hanya dari pemuka-pemuka pertama dahulu. Dan tak satupun yang aku ketahui sekarang ini yang menyatakan boleh, kecuali sebagian Rafidlah (pembelot). Tak ada nilai yang bisa diperhitungkan bagi pendapat yang bersebrangan dengan Kitabullah dan Sunah Rasulullah saw" (fathul bari IX/173, VI/154 cet.Darul fikr).

•fatwa al-mazari:
"Sungguh nikah mut'ah diawal islam diperbolehkan, kemudian berdasar hadits-hadits yang sharih hukumnya direvisi dan terbentuklah Ijma' atas keharamannya. Tak ada pertentangan kecuali dari satu kelompok yang ingin membuat bid'ah. Landasan mereka berasal dari hadits-hadits yang datang dengan pengakuan terhadap mut'ah. Sementara telah kami sebutkan, sesungguhnya dalil itu telah direvisi. Dengan demikian tak ada dalil pada pendapat mereka" (Syarah shahih muslim lin-nawawi IX/173).

•fatwa al-khatabi:
"Keharaman nikah mut'ah seperti Ijma' kecuali dari sebagian pendapat Syiah. Tidak sah kebenaran pendapat mereka yang merujuk pertentangan Sayidina Ali ra. Sbb telah dinyatakan sah dari pendapat beliau bahwa sesungguhnya mut'ah telah direvisi" (Nailul authar VI/154, IX/173 cet.Darul jail).
>tidak satupun pembesar ummat yang berselisih bahwa mut'ah adalah terlarang alias haram, kecuali dari para pembelot (rowafid).

Ⅳ.Dalil logika (aqli):
Pernikahan dalam pandangan syar'i mengandung muatan filosofis dan sakral, karna tujuannya disamping memuaskan syahwat juga menenangkan jiwa (as-sakinah), melestarikan keturunan dll bisa tercapai. Hal ini tak ditemukan dalam nikah mut'ah yang isinya hanya pelampiasan dan memuaskan nafsu syahwat dengan kurun waktu tertentu.

Akhiran!
Walau para rofidlah atau pembelot dari Syiah mengatakan bahwa eksistensinya dapat menghilangkan atau mengalihkan nilai keharaman zina, sementara ada solusi alternatif dengan cara nikah mut'ah.
Apakah seperti ini bukan dikatakan pengakuan akan pembentukan konstitusi perzina'an?

Allah wa rasuluh a'lam