Blog Posts » Fiqh » KAJIAN TAKLID DAN PENGANUTNYA
KAJIAN TAKLID DAN PENGANUTNYA
Taklid yang dirumuskan para pakar Ushuliyyin adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui atau menelusuri dalilnya (suatu petunjuk untuk dijadikan dasar dalam melakukan sesuatu).
Sehingga mau tidak mau taklid telah menjadi salah satu segmen pemegang piranti hukum yang mewarnai perjalanan manusia dengan cara konsisten terhadap madzhab yang di ikuti. Namun sisi lain sosialisasi konsep taklid dimasyarakat yang majmu' (plural) memiliki batasan yang relatif. Diantaranya:
1.TAKLID YANG BAIK.
-AWAM MURNI yang kapasitas intelektual agama sangat terbatas dan sedikitpun belum menguasai ilmu-ilmu yang mumpuni untuk menepaki posisi berijtihad.
-ALIM yang kapasitas intelektualnya telah berada diatas tingkat awam dengan penguasaan berbagai fan ilmu yang mu'tabar namun belum menguasai fan ilmu secara tuntas dan tabahhur (nyegoro:jw) hingga drajat Mujtahid.
2.TAKLID YANG TERCELA
-Taklid yang mengandung unsur berpaling dan menyimpang (maksiat) dari ajaran yang diturunkan Allah swt pada Rasulnya, seperti menyembah kayu dan batu warisan nenek moyang.
-Taklid pada pihak yang tak diketahui bahwa ia adalah orang yang memiliki basis kebenaran untuk di ikuti pendapatnya (ahlul ijtihad).
-Taklid setelah terbukti hujjah kebenaran dan dalil-dalil otentik berpihak pada seseorang yang tak sejalan dengan pendapat dari pihak yang di ikuti.
Berangkat dari firman Allah swt:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..." (Al-baqarah:286), maka taklid mendapat hukum dari syariat bagi pelaksanaan hukum-hukum islam yang sesuai fitrah manusia.
Artinya yang telah menjadi konsensus ulama (ijma') maka wajib menempuh jalan taklid, sebab masalah ijtihad harus DISERAHKAN PADA AHLINYA.
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" (QS.An-nahl:43).
PENDAPAT ULAMA TENTANG TAKLID.
①Mutlak tidak boleh taklid. Didukung mayoritas fuqaha' termasuk al-ghazali dan al-bidhawi.
②Mutlak boleh taklid. Didukung Imam ahmad, ibn rahawiyah dan at-tsauri.
③Tafsil. boleh untuk amal pribadi dan tidak boleh untuk fatwa. Didukung ulama ahli irak.
④Tafsil. boleh bila khawatir habis waktunya bila sibuk berijtihad, dan tidak boleh bila tidak khawatir. Didukung ulama irak yang lain.
⑤Tafsil. boleh bila Mujtahid yang dianut lebih alim, dan tidak boleh bila kapasitasnya sama atau sebawahnya. Didukung muhammad ibn al-hasan dan Abu hajib.
⑥Boleh bila yang dianut adalah golongan shahabat dengan syarat pendapatnya lebih unggul dari yang lain. Didukung oleh satu kutipan Imam syafi'i.
⑦Boleh bila yang dianut adalah golongan shahabat dan tabi'in.
⑧Boleh bila yang dianut lebih alim dengan syarat ada udzur untuk ijtihad.
[Al-ibhaj III/274, Ushul fiqh al-islami II/1129-1131, I'lam al-muqi'in II/181-188 dan 200-201, Esensi pemikiran mujtahid, FKI lirboyo 2003].
Allah wa rasuluh a'lam