Blog Posts » Tokoh » Hadrotus Syekh KH. Kholil Bangkalan: pemilik gelar "Syaikhuna"
Hadrotus Syekh KH. Kholil Bangkalan: pemilik gelar "Syaikhuna"
Kiyai Kholil dilahirkan pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235 H,atau 27 Januari 1820 M di Bangkalan, Madura. Perjalan hidupnya bisa kita simak dari masa kecil beliau, dimana kecintaannya kepada ilmu telah terserlah. Selain menghafal al-Quran, beliau sejak kecil telah hafal 1000 bait nazam Alfiyyah Ibnu Malik. Bahkan,beliau amat menitik beratkan pelajaran nahwu sehingga santri-santri beliau tidak akan dibenarkan menamatkan pengajian dan pulang ke kampung jika belum hafal Alfiyyah. Justru, setiap santri yang mohon untuk pulang, terlebih dahulu diuji hafalan Alfiyyahnya, jika belum hafal maka jangan harap diizinkan pulang. Begitulah penekanan yang beliau berikan kepada ilmu nahwu yg merupakan antara ilmu alat yang terpenting. Kelemahan dalam ilmu ini akan membawa kepada lemahnya memahami kitab-kitab para ulama terdahulu, maka wajar sekali jika mbah Kholil memberikan penekanan terhadap ilmu ini.
Selain ilmu nahwu, beliau turut menguasai ilmu fiqh terutama sekali fiqh Syafi’i,tafsir, qiraah dan juga tasawwuf dan thoriqah. Beliau menghafal al-Quran dan menguasai segala ilmu berhubungan dengannya termasuklah menguasai qiraatus sab’ah. Beliau menimba pengetahuannya dari ulama seperti Kyai Muhammad Nur dan di berbagai pesantren. diantaranya Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Cangaan Bangil, Pesantren Keboncandi Pasuruan dan Pesantren Banyuwangi. Setelah itu, beliau berangkat ke Makkah al-Mukarramah untuk menimba ilmu di sana. Sewaktu nyantri, beliau tidak mengharapkan biaya daripada orang tuanya, bahkan beliau menampung biayanya sendiri dengan melakukan berbagai pekerjaan disamping belajar.
Beliau berangkat ke Makkah dalam tahun 1859, ketika berusia 24 tahun. Sepanjang perjalanan ke Makkah dan semasa di sana,beliau lebih gemar berpuasa dan melakukan riyadhah (tirakat) kerohanian. Dikisahkan bahawa selama di Makkah, kebiasaannya beliau hanya makan kulit tembikai berbanding makanan lain. Setelah pulang ke tanahairnya, beliau mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan. Pesantren ini akhirnya beliau serahkan kepada menantunya Kiyai Muntaha, dan beliau sendiri membuka sebuah lagi pesantren di Desa Kademangan,Bangkalan.
Kiyai Kholil selain terkenal sebagai ulama,juga dikenali sebagai seorang waliyullah yang mempunyai berbagai karamah dan kasyaf. Murid beliau, Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dalam karyanya “al-Wasiilatul Hariyyah” mensifatkan gurunya ini sebagai ” beliau yang dalam ilmu nahwunya seperti Sibawaih, dalam ilmu fiqh seperti Imam an-Nawawi dan dari segi banyak kasyaf dan karamah seperti al-Quthub al-Jilani.” Maka tidak heran, makamnya sehingga kini diziarahi ramai untuk menjalankan sunnah ziarah kubur dan ngalap berkat. Beliau meninggal dunia pada 29 Ramadhan 1343H. Selain meninggalkan ramai santri yang menjadi ulama dan kiyai besar, beliau turut meninggalkan beberapa karangan antaranya “ash-Shilah fi bayanin nikah” dan “al-Matnusy-Syarif“. Ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan Nahdliyin berkiblat kepada Kyai Kholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlm dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin.
Demikianlah, ketokohan beliau, sehingga tidak mengherankan jika para kiyai memberikan gelar kepada beliau sebagai “syaikhuna!” yakni guru kami, krn kebanyakan kyai-kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau.
Maksud terminologi predikat yg sering kita dengar tersebut tidak lain ialah Kyai Kholil bin Kyai ‘Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai ‘Abdul Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asral Karamah bin Kyai ‘Abdullah bin Sayyid Sulaiman, yg merupakan cucu kepada Sunan Gunung Jati.
Diriwayatkan waktu menimba ilmu di Mekah itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Ketawadluan ulama dahulu tercermin tatkala KH Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH.Mohammad Kholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian.
Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri,murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Kholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Kholil adalah bentuk kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Diantara Murid mbah Kholil adalah Hadhratusyaikh Kyai Abdul Karim(Lirboyo Kediri), Kyai Hasyim Asy'ari(tebuireng jombang), Kyai Wahhab Hasbullah(tambakberas jombang), Kyai Ahmad Qusyairi, Kyai Bahar (Sidogiri Pasuruan), Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Ma'sum(Lasem Rembang), Kyai Bisri Mustofa (Rembang), Kyai As'ad Syamsul Arifin (Asembagus Situbondo).
Beliau Wafat pada tanggal 29 Romadlon 1343 H/14 Mei 1923 M.Kisaran umur 106tahun(Masehi) atau 108tahun(Hijriyah). Hampir semua pesantren di Indonesia yang ada sekarang masih mempunyai sanad/jalur dg pesantren Kyai Kholil.
Semoga Allah sentiasa mencucuri rahmat dan kasih-sayangNya kpd mbah Kyai Kholil serta para leluhurnya juga sekalian ulama dan umat yg mentauhidkan Allah SWT. Amin.